Pertanyaan
Assalaamu ‘alaikum Wr WB
Bapak Sukidi Geneng Lalung
Jawaban
Assalamu’alaikum wr. wb
Bapak Sukidi yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt.
Jawaban Pertanyaan Pertama
Bahwa hukum berkurban itu sendiri adalah sunnah muakkad. Tetapi khusus untuk Rasulullah saw hukumnya adalah wajib. Hal ini didasarkan kepada sabda beliau, salah satunya adalah yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi;
أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ
“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk berkurban, dan hal itu merupakan sunnah bagi kalian” (HR. At-Tirmidzi).
Kesunnahan dalam hal ini adalah sunnah kifayah jika dalam keluarga adalah satu dari mereka telah menjalankan kurban maka gugurlah kesunnahan yang lain, tetapi jika hanya satu orang maka hukumnya adalah sunnah ‘ain.
Sedang kesunnahan berkurban ini tentunya ditujukan kepada orang muslim yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu.
وَالْاُضْحِيَة- ….(سُنَّةٌ) مُؤَكَّدَةٌ فِيحَقِّنَاعَلَى الْكِفَايَةِ إِنْ تَعَدَّدَ أَهْلُ الْبَيْتِ فَإِذَا فَعَلَهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ كَفَى عَنِ الْجَمِيعِ وَإِلَّا فَسُنَّةُ عَيْنٍ وَالْمُخَاطَبُ بِهَا الْمُسْلِمُ اَلْحُرُّ اَلْبَالِغُ اَلْعَاقِلُ اَلْمُسْتَطِيعُ “
Hukum berkurban adalah sunnah muakkad yang bersifat kifayah apabila jumlahnya dalam satu keluarga banyak, maka jika salah satu dari mereka sudah menjalankannya maka sudah mencukupi untuk semuanya jika tidak maka menjadi sunnah ain.
Sedangkan mukhatab (orang yang terkena khitab) adalah orang islam yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu” (Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi asy-Syuja’, Bairut-Maktab al-Buhuts wa ad-Dirasat, tt, juz, 2, h. 588)
Sampai di sini tidak ada persoalan, tetapi persoalan kemudian muncul mengenai berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia. Biasanya hal ini dilalukan oleh pihak keluarganya, karena orang yang telah meninggal dunia sewaktu masih hidup belum pernah berkurban.
Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab Minhaj ath-Thalibin dengan tegas menyatakan tidak ada kurban untuk orang yang telah meniggal dunia kecuali semasa hidupnya pernah berwasiat.
وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ وَلَا عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا
“Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang telah meninggal dunia apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Minhaj ath-Thalibin, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1425 H/2005 M, h. 321)
Setidaknya argumentasi yang dapat dikemukakan untuk menopang pendapat ini adalah bahwa kurban merupakan ibadah yang membutuhkan niat. Karenanya, niat orang yang berkurban mutlak diperlukan.
Namun ada pandangan lain yang menyatakan kebolehan berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia sebagaimana dikemukakan oleh Abu al-Hasan al-Abbadi. Alasan pandangan ini adalah bahwa berkurban termasuk sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia adalah sah dan bisa memberikan kebaikan kepadanya, serta pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.
لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ بِغَيْرِإذْنِهِ لَمْ يَقَعْ عَنْهُ (وَأَمَّا) التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ بِالْإِجْمَاعِ
“Seandainya seseorang berkurban untuk orang lain tanpa seizinnya maka tidak bisa. Adapun berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu al-Hasan al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah, sedang sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijma` para ulama” (Lihat Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 8, h. 406)
Di kalangan mazhab Syafi’i sendiri pandangan yang pertama dianggap sebagai pandangan yang lebih sahih (ashah) dan dianut mayoritas ulama dari kalangan mazhab syafi’i. Kendati pandangan yang kedua tidak menjadi pandangan mayoritas ulama mazhab syafi’i, namun pandangan kedua didukung oleh mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Hal ini sebagaimana yang terdokumentasikan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.
إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ. فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ. أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَافَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ. وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لِأَنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ
“Adapun jika (orang yang telah meninggal dunia) belum pernah berwasiat untuk dikurbani kemudian ahli waris atau orang lain mengurbani orang yang telah meninggal dunia tersebut dari hartanya sendiri maka mazhab hanafii, maliki, dan hanbali memperbolehkannya. Hanya saja menurut mazhab maliki boleh tetapi makruh. Alasan mereka adalah karena kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana dalam sedekah dan ibadah haji” (Lihat, Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah-Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah, Bairut-Dar as-Salasil, juz, 5, h. 106-107)
Jika kami perinci jawaban atas pertanyaan ini, maka hukum berqurban untuk orang yang sudah meninggal adalah :
1. Tidak Sah
Pendapat ini, merupakan pendapat resmi dalam madzhab Asy-Syafi’i. Sebagaimana yang dijelaskan Imam An-Nawawi dalam kitab beliau Al-Minhaj:
ولا تضحية عن الغير بغير إذنه ولا عن ميت إن لم يوص بها
Tidaklah seseorang melakukan qurban atas orang lain tanpa seijinnya, dan tidak pula atas mayyit (orang yang telah meninggal), jika almarhum tidak berwasiat untuk berqurban. [1]
Jadi kalau seandainya tidak ada wasiat dari orang yang telah meninggal tersebut untuk berqurban semasa hidupnya, maka qurban atas almarhum tersebut tidak sah menurut pendapat pertama ini. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab beliau juga menjelaskan sebagai berikut: “Dalil yang dipakai pendapat madzhab Asy-Syafi’i tidak boleh berqurban atas orang yang telah meninggal adalah firman Allah:
{وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} [النجم: 39]
Tidaklah bagi manusia kecuali apa yang dia usahakan. (QS.An-Najm: 39)
Kalau seandainya hanya melaksanakan wasiat dari almarhum maka boleh. qurbannya sah. Dengan ketentuan, wajib bagi yang menjalankan wasiat tersebut untuk membagikan semua daging hewan qurban kepada faqir miskin. Tidak buat yang melakukan qurban dan tidak boleh pula memberikannya kepada orang kaya”.[2]
2. Boleh dan Sah
Ini merupakan pendapat jumhur ulama yaitu ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Berdasarkan hadis Ali:
أن عليا رضي الله عنه كان يضحي عن النبي صلى الله عليه وسلم بكبشين، وقال: إنه صلى الله عليه وسلم أمره بذلك.
Bahwasanya Ali RA pernah berqurban atas nabi SAW dengan menyembelih dua ekor kibasy. Dan beliau berkata: Bahwasanya nabi SAW menyuruhnya melakukan yang demikian. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, Ahmad, Hakim dan Al-Baihaki)
Pendapat kedua ini mengambil kesimpulan bahwa Ali menyembelih dua ekor hewan qurban, dimana satu hewan qurban atas diri beliau, dan satunya adalah qurban Nabi SAW yang telah meninggal pada waktu itu. Al-Kasani (w. 587H) salah seorang ulama Hanafiyah menjelaskan, dalil yang digunakan madzhab Hanafi dalam masalah ini adalah istihsan.
الاستحسان أن الموت لا يمنع التقرب عن الميت بدليل أنه يجوز أن يتصدق عنه ويحج عنه، وقد صح أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ضحى بكبشين أحدهما عن نفسه والآخر عمن لا يذبح من أمته – وإن كان منهم من قد مات قبل أن يذبح – فدل أن الميت يجوز أن يتقرب عنه فإذا ذبح عنه صار نصيبه للقربة فلا يمنع جواز ذبح الباقين.
Berdasarkan istihsan, kematian tidak menghalangi seseorang bertaqarrub (melakukan kebaikan) atas orang yang telah meninggal. Dengan dalil seseorang boleh bersedekah untuknya dan menghajikannya. Dan dalam sebuah hadis shahih juga disebutkan, “bahwasanya rasulullah SAW berqurban dengan dua ekor kibasy, dimana satu kibasy adalah qurban beliau, dan satunya lagi untuk qurban umatnya yang tidak/belum pernah berqurban.”[3] Diantara umatnya termasuk juga yang telah meninggal dunia sebelum dia berqurban. Ini menunjukkan bahwa boleh melakukan kebaikan atas orang yang meninggal dunia. Jika dia menyembelihkan qurban atasnya, orang yang meninggal tersebut akan mendapat ganjaran pahala atas kebaikan tersebut… [4]
Al-Buhuti (w.1051H) salah ulama Hanabilah dalam kitab beliau juga menyebutkan:
التضحية (عن ميت أفضل) منها عن حي. قاله في شرحه لعجزه واحتياجه للثواب (ويعمل بها) أي الأضحية عن ميت (ك) أضحية (عن حي) من أكل وصدقة وهدية
Qurbannya orang yang sudah meninggal dunia lebih utama dari qurbannya orang yang masih hidup. Karena ketidakberdayaan mayyit dan dia lebih membutuhkan pahala. Pelaksanaan qurban atas mayyit sama seperti pelaksanaan qurban orang yang hidup, dari yang dimakan dagingnya, disedekahkan dan dihadiahkan. [5]
Namun hal yang berbeda antara ulama Hanafiyah dan Hanabilah terkait boleh tidaknya daging qurban atas mayyit dimakan atau dikonsumsi sendiri buat yang melakukan qurban. Karena qurbannya bukan atas dirinya, tapi atas mayyit atau orang yang telah meninggal yang dia ingin hadiahkan pahala qurban.
Madzhab hambali dalam hal ini membolehkan, sedangkan madzhab Hanafi mereka melarang daging qurbannya itu untuk diambil, dimakan orang yang berqurban kalau qurban itu statusnya wasiat atau perintah dari yang meninggal semasa hidupnya. Tapi kalau qurban tersebut merupakan bentuk sukarela, bukan wasiat, maka yang melakukan qurban boleh mengambil, memakan daging qurban tersebut.
Sebagaimana yang dijelaskan imam Ibnu Abdin salah seorang ulama Hanafiyah berikut:
قوله وعن ميت) أي لو ضحى عن ميت وارثه بأمره ألزمه بالتصدق بها وعدم الأكل منها، وإن تبرع بها عنه له الأكل لأنه يقع على ملك الذابح والثواب للميت)
Kalau ada ahli waris yang berqurban untuk orang yang sudah meninggal karena perintahnya (wasiat), maka ahli waris ini wajib menyedekahkan daging qurban tersebut tanpa mengambil untuk memakannya. Tapi, kalau qurban tersebut dilakukan karena sukarela berbuat baik kepada yang meninggal, dia boleh memakan, karena statusnya dia pemilik qurban, dan bagi yang meninggal pahalanya. [6]
3. Makruh
Pendapat ini merupakan pendapat dari ulama Malikiyah. Bagi mereka makruh hukumnya berqurban atas orang yang telah meninggal dunia. Sebagaimana yang dikatakan Al-Kharsyi salah seorang ulama Malikiyah:
وفعلها عن ميت (ش) يعني أنه يكره للشخص أن يضحي عن الميت خوف الرياء والمباهاة ولعدم الوارد في ذلك وهذا إذا لم يعدها الميت وإلا فللوارث إنفاذها
Makruh bagi seseorang melakukan qurban atas orang yang sudah meninggal. Karena dikhawatirkan menjadi riya atau pamer. Dan juga tidak ada dalil dari nabi atas yang demikian itu. Kecuali atas permintaan almarhum semasa hidupnya, maka bagi ahli waris melaksanakannya. [7]
Imam Malik juga mengatakan:
ولا يعجبني أن يضحي عن أبويه الميتين
Dan aku tidak merasa takjub kepada orang yang berqurban atas orang tuanya yang telah meninggal dunia. [8]
Dalam sebuah riwayat lain, imam Malik juga berucap:
“أكره أن يرسل لمناحة “
Aku memakruhkan mengirim (pahala qurban ) bagi orang yang sudah meninggal. [9]
Dari pemaparan pendapat-pendapat para fuqaha di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
[1] An-Nawawi (w.676H), Al-Minhaj, jilid.1, hal. 321
[2] Wahbah Az-Zuhaili (w.2015M), Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, jilid 4, hal. 2744.
[3] HR. Ahmad, Abu Daud dan At-Tarmidzi
[4] Al-Kasani, Badai’ As-Shanai’, jilid.5, hal.72.
[5] Al-Buhuti, Syarh Al-Muntaha Al-Iradat, jilid. 1, hal. 612.
[6] Ibnu Abdin, Ad-Dur Al-Mukhtar, jilid 3, hal. 335.
[7] Al-Kharsyi, Syarh Mukhtashar Khalil, jilid 3, hal.42.
[8] Al-Hattab Al-Ru’aini, Mawahib Al-Jalil, jilid. 3, hal. 247.
[9] Al-Gharnathi, At-Taj wa Al-Iklil, jilid. 4, hal. 378
Jawaban Pertanyaan Kedua
Kebiasaan qurban bergilir ini marak di masyarakat kita. Yaitu misalnya satu keluarga terdiri dari suami, istri dan dua anak. Maka tahun ini yang berqurban suami, tahun depan istri, tahun setelahnya anak pertama, tahun setelahnya lagi anak kedua, dan seterusnya.
Ini menjadi hal yang unik, karena kami belum mendapatkan hal seperti ini di kitab-kitab fikih.
Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selalu berqurban setiap tahun. Namun tidak dinukil riwayat bahwasanya beliau mempergilirkan qurban, kepada istri-istrinya dan anak-anaknya. Bahkan beliau menganggap qurban beliau sudah mencukupi seluruh keluarganya. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:
ضحَّى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بكبشَيْنِ أقرنيْنِ أملحيْنِ أحدِهما عنهُ وعن أهلِ بيتِه والآخرِ عنهُ وعمَّن لم يُضَحِّ من أمَّتِه
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban dengan dua domba gemuk yang bertanduk salah satunya untuk diri beliau dan keluarganya dan yang lain untuk orang-orang yang tidak berqurban dari umatnya” (HR. Ibnu Majah no.3122, dihasankan oleh Al Albani dalam Irwaul Ghalil [4/353]).
Demikian juga para sahabat Nabi, yang berkurban di antara mereka adalah para kepala keluarga, dan mereka juga tidak mempergilirkan qurban pada anak dan istri mereka. Dari Abu Ayyub Al Anshari radhiallahu’anhu, ia berkata:
كانَ الرَّجلُ في عَهدِ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ يُضحِّي بالشَّاةِ عنهُ وعن أَهلِ بيتِهِ فيأْكلونَ ويَطعَمونَ ثمَّ تباهى النَّاسُ فصارَ كما ترى
“Dahulu di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, SEORANG LELAKI berqurban dengan satu kambing yang disembelih untuk dirinya dan keluarganya. Mereka makan dan sembelihan tersebut dan memberi makan orang lain. Kemudian setelah itu orang-orang mulai berbangga-bangga (dengan banyaknya hewan qurban) sebagaimana engkau lihat” (HR. Tirmidzi no.1505, Ibnu Majah no. 3147, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Syaikh Ibnu Al Utsamin ditanya: “apakah setiap anggota keluarga dituntut untuk berqurban atas diri mereka masing-masing?”. Beliau menjawab:
لا.السنة أن يضحي رب البيت عمن في البيت، لا أن كل واحد من أهل البيت يضحي، ودليل ذلك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ضحى بشاة واحدة عنه وعن أهل بيته، وقال أبو أيوب الأنصاري رضي الله عنه: ( كان الرجل على عهد النبي صلى الله عليه وسلم يضحي بالشاة عنه وعن أهل بيته ) ولو كان مشروعاً لكل واحد من أهل البيت أن يضحي لكان ذلك ثابتاً في السنة، ومعلوم أن زوجات الرسول عليه الصلاة والسلام لم تقم واحدة منهن تضحي اكتفاء بأضحية النبي صلى الله عليه وسلم
“Tidak. Yang sesuai sunnah, kepala rumah tangga lah yang berkurban. Bukan setiap anggota keluarga. Dalilnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban dengan satu kambing untuk dirinya dan keluarganya. Dan Abu Ayyub Al Anshari berkata: “Dahulu di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, SEORANG LELAKI berqurban dengan satu kambing yang disembelih untuk dirinya dan keluarganya”. Andaikan disyariatkan setiap anggota keluarga untuk berkurban atas dirinya masing-masing tentu sudah ada dalilnya dari sunnah Nabi. Dan kita ketahui bersama, bahwa para istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak ada yang berqurban, karena sudah mecukupkan diri dengan qurban Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam“.
Beliau juga mengatakan:
فإن قال قائل: لعل ذلك لفقرهم؟ فالجواب: إن هذا احتمال وارد لكنه غير متعين، بل إنه جاءت الآثار بأن من أزواج الرسول عليه الصلاة والسلام من كانت غنية
“Jika ada orang yang berkata: mungkin itu karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat miskin? Maka kita jawab: memang kemungkinan tersebut ada, namun tidak bisa kita pastikan. Bahkan terdapat banyak atsar yang menunjukkan bahwa para istri-istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah orang-orang kaya“ (Durus Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 8/5)[1].
Dan perlu diperhatikan bahwa ibadah qurban ini wajib ikhlas hanya untuk meraih wajah Allah Ta’ala. Hendaknya jauhkan perasaan ingin dilihat, ingin dikenal pernah berqurban, ingin nampak namanya atau semisalnya yang merupakan riya dan bisa menghanguskan pahala amalan. Karena terkadang alasan orang berqurban atas nama istrinya atau anaknya karena anak dan istrinya belum pernah nampak namanya dalam list shahibul qurban. Allahul musta’an. Oleh karena itulah dalam hadits Abu Ayyub di atas disebutkan:
ثمَّ تباهى النَّاسُ فصارَ كما ترى
“Kemudian setelah itu orang-orang mulai berbangga-bangga sebagaimana engkau lihat”
Yaitu menjadikan ibadah qurban sebagai ajang berbangga di hadapan orang banyak.
Di sisi lain, ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyyah mensyaratkan yang berqurban haruslah yang memberikan nafkah, barulah mencukupi untuk satu keluarga. Dalam kitab Al Muntaqa karya Al Baji disebutkan:
والأصل في ذلك حديث أبي أيوب كنا نضحي بالشاة الواحدة يذبحها الرجل عنه وعن أهل بيته زاد ابن المواز عن مالك وولديه الفقيرين قال ابن حبيب: وله أن يدخل في أضحيته من بلغ من ولده وإن كان غنيا إذا كان في نفقته وبيته
“Landasan dari hal ini adalah hadits Abu Ayyub: ‘dahulu kami biasa berqurban dengan satu kambing yang disembelih SEORANG LELAKI untuk dirinya dan keluarganya’. Dalam riwayat Ibnu Mawaz dari Malik adal tambahan: ‘dan orang tuanya dan orang fakir yang ia santuni’. Ibnu Habib mengatakan: ‘Maka boleh meniatkan qurban untuk orang lain yang bukan keluarganya, dan ia orang yang kaya, jika memang orang lain tersebut biasa ia nafkahi dan tinggal di rumahnya’”
Sehingga dengan pendapat ini, jika yang berqurban adalah istri atau anak, maka qurban tidak mencukupi seluruh keluarga.
Walhasil, kami bertanya kepada beberapa ulama dalam masalah ini, dengan teks pertanyaan, “wahai Syaikh, terkait qurban. Diantara kebiasaan di negeri kami, seorang lelaki misalnya tahun ini berqurban, namun tahun depan dia tidak berqurban melainkan istrinya yang berqurban. Tahun depannya lagi anak pertamanya, dan terus demikian secara bergiliran. Apakah ini baik?”.
Syaikh Walid Saifun Nashr menjawab:
لا أعلم له أصلا
“Saya tidak mengetahui ada landasan dari perbuatan ini” [2]
Syaikh Dr. Aziz Farhan Al Anazi menjawab:
الأصل أن على ان أهل كل بيت أضحية والذي يتولى ذلك الوالد لانه هو المكلف بالإنفاق على زوجته واولاده
“Asalnya tuntutan untuk berqurban itu pada setiap keluarga, dan yang bertanggung-jawab untuk menunaikannya adalah suami karena dia yang wajib memberikan nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya” [3].
Adapun mengenai keabsahan qurban jika yang berqurban bukan kepala keluarga namun salah seorang dari anggota keluarga, maka tetap sah jika syarat dan rukun qurban terpenuhi. Semisal jika istrinya yang berqurban atau anaknya, maka boleh dan tetap sah. Namun kurang utama, karena menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya.
Kesimpulannya, yang lebih mendekati sunnah Nabi dan para sahabat, yang berqurban cukuplah suami saja sebagai kepala keluarga. Tidak perlu dipergilirkan kepada anggota keluarga yang lain. Dan tidak ada keutamaan khusus dengan mempergilirkan demikian. Namun jika anggota keluarga yang lain berqurban atas nama dirinya, itu pun boleh saja dan sah. Hanya saja kurang sesuai dengan sunnah Nabi dan para sahabat sebagaimana telah dijelaskan.
Demikian Jawaban Kami. Wallahu a’lam bi shawab
Wassalaamu ‘alaikum Wr WB