Ust. M. Fauzil ‘Adhim
Hidup tak senantiasa berjalan menurut alur yang kita inginkan. Kadang ada peristiwa yang membuat kita terluka, meskipun sudah sangat hati-hati dalam melangkah. Kecewa dan gembira adalah hal yang biasa karena kita hidup di dunia. Bukan di surga.
Masa lalu adalah pelajaran yang sekali waktu kita dapat menengoknya. Yang baik, agar kita dapat mengambil pelajaran, memahami prinsipnya dan acuan dalam melakukan perbaikan. Yang tak baik dan menimbulkan kekecewaan, menengok kembali sekali waktu agar tak mengulang kesalahan bagi langkah-langkah ke depan yang terbentang di hadapan.
Tentang kecewa, biarlah ia mengering pelahan hingga benar-benar sembuh, menerima dan menyadarinya. Memaksakan diri untuk menutup rapat-rapat dengan segera, bukan membuat luka itu jadi tiada. Ia tetap ada. Maka Imam Al-Ghazali menasehatkan agar kekecewaan tidak cepat-cepat dienyahkan. Saya ingin menulisnya dengan baik, tetapi lupa dimana tulisan beliau yang saya rujuk. Astaghfirullah…..
Sangat berbeda antara menghapus luka dengan menutupinya. Bekasnya mungkin masih ada, tetapi ketika lukanya telah sembuh, menatapnya kembali sekali waktu dapat menjadi kesempatan bagi kita mengambil pelajaran. Sementara luka yang tertutup, kenangan yang muncul tiba-tiba saja dapat membuat komunikasi jadi terganggu. Apalagi sengaja mengingatnya, komunikasi antara suami dan istri bisa macet. Kegagalan komunikasi (communication breakdown) pun terjadi.
Memilah antara ridha kepada takdir, memahami sebab-sebab terjadinya kekecewaan yang melukai jiwa, serta memilih memaafkan atau tidak terhadap orang yang melukai jiwa merupakan bekal yang sangat penting. Betapa banyak yang masih sulit memilah antara memaafkan orang dengan ridha terhadap kezaliman, misalnya. Begitu pula banyak yang rancu antara ridha terhadap takdir dengan ridha terhadap kezaliman. Bahkan banyak yang bingung antara ridha terhadap takdir dengan tidak memaafkan pelaku kezaliman.
Ada satu hal prinsip yang harus kita hindari terhadap segala yang tidak menyenangkan, yakni mengatakan seandainya. Kesalahan kita sendiri pun, bahkan yang tak seberapa, membawa kepada penyesalan melebihi seharusnya dan bahkan merusak diri sendiri apabila kita membiarkan kata “seandainya” menguasai diri kita. Padahal Rasulullah ﷺ telah mengajarkan:
وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu katakan, “Seandainya aku berbuat demikian, pastilah akan demikian dan demikian.” Akan tetapi katakanlah, “Qadarallah wa maa syaa fa’ala (Allah telah mentakdirkan ini dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi).” Sesungguhnya perkataan “seandainya (لَوْ)” membuka pintu perbuatan setan.” (HR. Ahmad, Muslim, dan yang lainnya).
Selama luka jiwa hanya kita tutupi, bukan sembuh, maka suami-istri harus pandai-pandai menjaga suasana. Terkenang sedikit saja luka itu akan kembali menganga sehingga keduanya tak kunjung dewasa dalam menyikapinya. Tetapi jika ia pulih sepenuhnya, masing-masing dapat menerima secara sadar penuh seraya mengilmui, hatinya ridha yang sesungguh-sungguhnya, maka apa yang berlalu dapat menjadi cermin jernih bagi keduanya.
Catatan sederhana ini semoga bermanfaat dan barakah. Mudah dicerna bagi segenap orang yang bertanya, meskipun jawaban ini tidak saya sampaikan langsung kepada orang per orang. Mohon maaf, banyak yang mengajukan pertanyaan terkait masalah rumah-tangga kepada saya, tetapi tidak dapat saya jawab secara langsung. Mudah-mudahan upaya untuk menjawab ini bermanfaat dan barakah.
Sekedar tambahan, kaidah-kaidah ini sebenarnya bukan hanya untuk suami-istri. Ini juga berlaku bagi anak tatkala mengalami hal yang menyakitkan hati atau sejenisnya saat berinteraksi dengan teman maupun orang lain. Tentu saja tak ada yang berharap mengalami kekecewaan. Tetapi memahami bagaimana menghadapi dan mendampingi anak jika menghadapi keadaan seperti itu in sya Allah lebih bermanfaat meskipun tidak pernah mengalami hingga masa-masa selanjutnya (dan ini yang kita harapkan). Wallahu a’lam bish-shawab.